Dikemukakannya perkawinan umat Hindu di
Bali dalam tulisan ini, sebagai dimaklumi bahwa mayoritas (lebih dari
93,5 %) penduduk Bali menganut agama Hindu, dengan demikian pengamatan
terhadap perkawinan di daerah ini merupakan hal perlu untuk
dipertimbangkan. Umat Hindu di daerah lainnya di Indonesia menempati
posisi minoritas, walaupun ada beberapa daerah lainnya di luar pulau
Bali, namun posisi mereka tidak dalam satu etnis, sehingga
perkawinanHindu di daerah tersebut tampak mendapat pengaruh dari budaya
setempat.
Berdasarkan pengamatan sejak
beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran utamanya dalam sistem atau
jenis perkawinan, sedang acara ritual (upacara agama Hindu) tidak begitu
menampakkan perubahan. Sebelum tahun 1960-an, ketika baru beberapa
tahun Indonesia merdeka, masih ditemukan sistem perkawinan yang
mendekati sistem perkawinan Raksasa dan Paiúaca seperti diuraiakan di
atas. Pada masa itu, walaupun tidak banyak dapat ditemukan sistem
perkawinan yang disebut ‘Mlagandang’, ‘Mrekunung’ dan ‘Mrekopong’, yakni
perkawinan dengan memaksa mempelai perempuan, melarikan, memperkosa,
membuat mabuk dan tidak berdaya dan bahkan dengan ancaman akan dibunuh
oleh calon mempelai laki-laki bersama keluarganya. Setelah tahun 1960,
didukung pula pendidikan masyarakat yang semakin maju dan diikuti dengan
penegakkan hukum dan perundang-undangan, kasus-kasus semacam itu tidak
tampak lagi terjadi.
Di Bali dikenali dengan tiga jenis
atau sistem perkawinan, yaitu perkawinan meminang (Mapadik/Ngidih),
kawin selarian (Ngelayat atau Ngerorod) dan perkawinan Nyentana atau
Nyeburin. Berikut diuraikan masing-masing jenis perkawinan tersebut.
1) Mapadik/Ngidih adalah
perkawinan meminang yang dilakukan oleh keluarga calon mempelai
laki-laki yang datang meminang ke rumah calon mempelai perempuan.
Meminang dapat dilakukan bila telah ada kesepakatan antara kedua calon
mempelai dan keduanya saling mencintai serta pelaksanaannya keluarga
mempelai laki-laki diminta secara formal pada hari yang dianggap baik
untuk meminang selanjutnya dilakukan upacara perkawinan (Saýskaravivàha)
sesuai dengan ketentuan dalam agama Hindu. Kini perkawinan meminang ini
merupakan hal yang umum dan lumrah dilakukan oleh seluruh kalangan
masyarakat.
2) Ngelayat/Ngerorod. Perkawinan
selarian atau sering disingkat kawin lari dimaksudkan bahwa kedua calon
mempelai atas dasar saling mencintai sepakat untuk lari bersama-sama ke
rumah pihak ketiga untuk melakukan perkawinan. Oleh keluarga pihak
ketiga dipermaklumkan kepada orang tua gadis dan orang tua calon
mempelai laki-laki bahwa akan dilangsungkan upacara perkawinan.
Perkawinan ini semacam katup pengaman bagi perkawinan yang tidak
mendapast restu oleh orang tua mempelai perempuan. Di masa lalu
keluarga-keluarga tertentu merasa lebih bermartabat bila menempuh
perkawinan ini, karena bila meminang, terasa kehormatan keluarga
laki-laki direndahkan, di samping dari segi pembiayaan perkawinan ini
lebih sedikit menghabiskan biaya dibandingkan dengan perkawinan sistem
meminang. Dewasa ini perkawinan Ngelayat atau Ngerorod ini sudah banyak
ditinggalkan. Masyarakat kini merasa malu kalau keluarganya menempuh
kawin lari, kacuali karena faktor-faktor tertentu terutama menyangkut
harga diri seseorang yang masih ditutupi oleh kabut feodalisme.
3) Nyentana/Nyeburin. Nyentana
dipandang lebih terhormat dibandingkan dengan Nyeburin. Kedua jenis
perkawinan ini merupakan kebalikan dari sistem perkawinan yang umum,
utamanya menyangkut status mempelai laki-laki. Dalam kedua jenis
perkawinan ini, mempelai laki-laki tinggal di rumah asal mempelai
perempuan dan statusnya sebaagai status mempelai perempuan utamanya
menyangkut waris dan kewajiban memelihara pura keluarga mempelai
perempuan. Dalam perkawinan Nyentana, keluarga mempelai perempuan
meminang calin mempelai laki-laki, sedang dalam Nyeburin, mempelai
laki-laki datang ke rumah mempelai perempuan untuk mengikuti upacara
perkawinan. Kedua jenis perkawinan di atas umum dilakukan di Kabupaten
Tabanan, Bali walaupun di keluarga mempelai wanita terdapat
saudara-saudaranya yang laki-laki sebagai pelanjut keturunan keluarga
itu.
Simpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1) Perempuan Hindu menurut Veda dan
Susastra Hindu memiliki kedudukan yang tinggi, terhormat, sebagai
sarjana, dapat memimpin pasukan ke medan perang, sebagai guru, sebagai
ibu atau calon ibu yang akan melahirkan putra suputra, perwira dan
berbudhi pekerti yang luhur.
2) Perkawinan dalam perspektif
Hindu mengandung makna untuk secara sempurna melaksanakan ajaran agama
(dharma), melahirkan putra suputra dan berbudi pekerti yang luhur, serta
memuskan dorongan nafsu seksual sesuai dengan ajaran agama dan hukum
yang berlaku.
3) Azas perkawinan Hindu adalah
monogami, dengan sistem perkawinan laki-laki sebagai kepala rumah tangga
(patriarchat) dalam keadaan seseorang tidak memiliki anak laki-laki,
anak perempuan dapat distatuskan sebagai purusa (laki-laki) untuk
melanjutkan keturunan, pemeliharaan tempat suci keluarga dan pewarisan.
Daftar Pustaka
Basham, A.L.1992. The Wonder That Was India. New Delhi: Rupa & Co.
Chand, Devi. 1982. The Atharvaveda. New Delhi: Motilal Banarsidass.
Hooykaas. C & T. Goudriaan, 1971.
Stuti and Stava of Balinese Brahman Priest. Amsterdam, London: North
Holland Publishing Company.
Kantawala, S.G.1989. Marriage and Family
in The Mahàbhàrata Some Aspects, in Moral Dilemmas in The
Mahàbhàrata.Edited by Bimal Krishna Matilal. New Delhi: Motilal
Banarsidass.
Nihshreyasananda. 1982. Great Women in the Ràmàyaóa, dalam Great Women of India, Advaita Ashrama, Mayavati, Almora, Himalaya.
Pandey, Rajbali. 1991. Hindu Saýskara. New Delhi: Motilal Banarsidass.
Prabhu, R.K. & U.R.Rao. 1967. The Mind of Mahatma Gandhi. Ahmedabad, India: The Navajivan Trust.
Radhakrishan, S. 1990. The Principal of Upaniûads. Bombay: Oxford University Press.
Rajendra Chandra Hazra, 1982. Great
Women in The Puranas, dalam Great Women of India. Mayavati, Almora,
Himalaya: Advaita Ashrama.
Suniti Bala Gupta.1982. Women Characters
in the Stories of the Mahàbhàrata, dalam Great Women of India.
Mayavati, Almora, Himalaya: Advaita Ashrama.
Sushil Kumar De. 1982. Great Women in
Vedic Literature, dalam Great Women of India. Mayavati, Almora,
Himalaya: Advaita Ashrama.
Titib, I Made. 1998. Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
——, 1998. Citra Wanita Dalam kakawin Ràmàyaóa (Cermin Masyarakat Hindu Tentang Wanita). Surabaya: Paramita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar