Senin, 12 Desember 2011

Perkawinan Hindu




Dikemukakannya perkawinan umat Hindu di Bali dalam tulisan ini, sebagai dimaklumi bahwa mayoritas (lebih dari 93,5 %) penduduk Bali menganut agama Hindu, dengan demikian pengamatan terhadap perkawinan di daerah ini merupakan hal perlu untuk dipertimbangkan. Umat Hindu di daerah lainnya di Indonesia menempati posisi minoritas, walaupun ada beberapa daerah lainnya di luar pulau Bali, namun posisi mereka tidak dalam satu etnis, sehingga perkawinanHindu di daerah tersebut tampak mendapat pengaruh dari budaya setempat.
Berdasarkan pengamatan sejak beberapa tahun terakhir terjadi pergeseran utamanya dalam sistem atau jenis perkawinan, sedang acara ritual (upacara agama Hindu) tidak begitu menampakkan perubahan. Sebelum tahun 1960-an, ketika baru beberapa tahun Indonesia merdeka, masih ditemukan sistem perkawinan yang mendekati sistem perkawinan Raksasa dan Paiúaca seperti diuraiakan di atas. Pada masa itu, walaupun tidak banyak dapat ditemukan sistem perkawinan yang disebut ‘Mlagandang’, ‘Mrekunung’ dan ‘Mrekopong’, yakni perkawinan dengan memaksa mempelai perempuan, melarikan, memperkosa, membuat mabuk dan tidak berdaya dan bahkan dengan ancaman akan dibunuh oleh calon mempelai laki-laki bersama keluarganya. Setelah tahun 1960, didukung pula pendidikan masyarakat yang semakin maju dan diikuti dengan penegakkan hukum dan perundang-undangan, kasus-kasus semacam itu tidak tampak lagi terjadi.
Di Bali dikenali dengan tiga jenis atau sistem perkawinan, yaitu perkawinan meminang (Mapadik/Ngidih), kawin selarian (Ngelayat atau Ngerorod) dan perkawinan Nyentana atau Nyeburin. Berikut diuraikan masing-masing jenis perkawinan tersebut.
1)    Mapadik/Ngidih adalah perkawinan meminang yang dilakukan oleh keluarga calon mempelai laki-laki yang datang meminang ke rumah calon mempelai perempuan. Meminang dapat dilakukan bila telah ada kesepakatan antara kedua calon mempelai dan keduanya saling mencintai serta pelaksanaannya keluarga mempelai laki-laki diminta secara formal pada hari yang dianggap baik untuk meminang selanjutnya dilakukan upacara perkawinan (Saýskaravivàha) sesuai dengan ketentuan dalam agama Hindu. Kini perkawinan meminang ini merupakan hal yang umum dan lumrah dilakukan oleh seluruh kalangan masyarakat.
2)    Ngelayat/Ngerorod. Perkawinan selarian atau sering disingkat kawin lari dimaksudkan bahwa kedua calon mempelai atas dasar saling mencintai sepakat untuk lari bersama-sama ke rumah pihak ketiga untuk melakukan perkawinan. Oleh keluarga pihak ketiga dipermaklumkan kepada orang tua gadis dan orang tua calon mempelai laki-laki bahwa akan dilangsungkan upacara perkawinan. Perkawinan ini semacam katup pengaman bagi perkawinan yang tidak mendapast restu oleh orang tua mempelai perempuan. Di masa lalu keluarga-keluarga tertentu merasa lebih bermartabat bila menempuh perkawinan ini, karena bila meminang, terasa kehormatan keluarga laki-laki direndahkan, di samping dari segi pembiayaan perkawinan ini lebih sedikit menghabiskan biaya dibandingkan dengan perkawinan sistem meminang. Dewasa ini perkawinan Ngelayat atau Ngerorod ini sudah banyak ditinggalkan. Masyarakat kini merasa malu kalau keluarganya menempuh kawin lari, kacuali karena faktor-faktor tertentu terutama menyangkut harga diri seseorang yang masih ditutupi oleh kabut feodalisme.
3)    Nyentana/Nyeburin. Nyentana dipandang lebih terhormat dibandingkan dengan Nyeburin. Kedua jenis perkawinan ini merupakan kebalikan dari sistem perkawinan yang umum, utamanya menyangkut status mempelai laki-laki. Dalam kedua jenis perkawinan ini, mempelai laki-laki tinggal di rumah asal mempelai perempuan dan statusnya sebaagai status mempelai perempuan utamanya menyangkut waris dan kewajiban memelihara pura keluarga mempelai perempuan. Dalam perkawinan Nyentana, keluarga mempelai perempuan meminang calin mempelai laki-laki, sedang dalam Nyeburin, mempelai laki-laki datang ke rumah mempelai perempuan untuk mengikuti upacara perkawinan. Kedua jenis perkawinan di atas umum dilakukan di Kabupaten Tabanan, Bali walaupun di keluarga mempelai wanita terdapat saudara-saudaranya yang laki-laki sebagai pelanjut keturunan keluarga itu.
Simpulan
Dari uraian tersebut di atas dapat ditarik simpulan sebagai berikut:
1)    Perempuan Hindu menurut Veda dan Susastra Hindu memiliki kedudukan yang tinggi, terhormat, sebagai sarjana, dapat memimpin pasukan ke medan perang, sebagai guru, sebagai ibu atau calon ibu yang akan melahirkan putra suputra, perwira dan berbudhi pekerti yang luhur.
2)    Perkawinan dalam perspektif Hindu mengandung makna untuk secara sempurna melaksanakan ajaran agama (dharma), melahirkan putra suputra dan berbudi pekerti yang luhur, serta memuskan dorongan nafsu seksual sesuai dengan ajaran agama dan hukum yang berlaku.
3)    Azas perkawinan Hindu adalah monogami, dengan sistem perkawinan laki-laki sebagai kepala rumah tangga (patriarchat) dalam keadaan seseorang tidak memiliki anak laki-laki,  anak perempuan dapat distatuskan sebagai purusa (laki-laki) untuk melanjutkan keturunan, pemeliharaan tempat suci keluarga dan pewarisan.
Daftar Pustaka
Basham, A.L.1992. The Wonder That Was India. New Delhi: Rupa & Co.
Chand, Devi. 1982. The Atharvaveda. New Delhi: Motilal Banarsidass.
Hooykaas. C & T. Goudriaan, 1971. Stuti and Stava of Balinese Brahman Priest.  Amsterdam, London: North Holland Publishing Company.
Kantawala, S.G.1989. Marriage and Family in The Mahàbhàrata Some Aspects, in Moral Dilemmas in The Mahàbhàrata.Edited by Bimal Krishna Matilal. New Delhi: Motilal Banarsidass.
Nihshreyasananda. 1982. Great Women in the Ràmàyaóa, dalam Great Women of  India, Advaita Ashrama, Mayavati, Almora, Himalaya.
Pandey, Rajbali. 1991. Hindu Saýskara. New Delhi: Motilal Banarsidass.
Prabhu, R.K. & U.R.Rao. 1967. The Mind of Mahatma Gandhi. Ahmedabad, India: The Navajivan Trust.
Radhakrishan, S. 1990. The Principal of Upaniûads. Bombay: Oxford University Press.
Rajendra Chandra Hazra, 1982. Great Women in The Puranas, dalam Great Women of  India. Mayavati, Almora, Himalaya: Advaita Ashrama.
Suniti Bala Gupta.1982. Women Characters in the Stories of the Mahàbhàrata, dalam Great Women of  India. Mayavati, Almora, Himalaya: Advaita Ashrama.
Sushil Kumar De. 1982. Great Women in Vedic Literature, dalam Great Women of  India. Mayavati, Almora, Himalaya: Advaita Ashrama.
Titib, I Made. 1998. Veda, Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya: Paramita.
——,  1998. Citra Wanita Dalam kakawin Ràmàyaóa (Cermin Masyarakat Hindu  Tentang Wanita). Surabaya: Paramita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar