Jumat, 06 Januari 2012

hukum adat bali

Pulau Bali adalah sebuah pulau yang sangat unik dan begitu dikagumi oleh orang-orang dari seantero jagat. Betapa tidak, para wisatawan datang berbondong-bondong ke Bali untuk melihat keunikan Bali.Umumnya mereka berwisata ke Bali bukan untuk melihat gedung-gedung bertingkat,ataupun beton-beton bertulang.Namun ada sesuatu di Bali yang berbeda dari negaranya,yang wajib untuk dinikmati.Apa itu? Kita tentu sepakat bahwa adat istiadat dan budaya Bali menjadi tulang punggung denyut nadi pariwisata Bali selain alam pulau seribu pura nan eksotik.
Masyarakat Bali sejak zaman Mpu Kuturan mengenal sistem Kahyangan Tiga yang dalam kehidupan sosial masyarakatnya di-implementasikan dalam wadah desa pakraman yang terbagi lagi dalam konsep banjar-banjar. Konsep yang adiluhung ini sekaligus menjadi pilar utama kehidupan masyarakat Bali dalam menopang adat dan budayanya yang diwarisi sampai sekarang.
Tidak dapat dipungkiri, adat istiadat begitu merasuk dalam setiap sendi kehidupan orang Bali. Sistem desa pekraman yang didalamnya terdapat tiga unsur utama, yakni Tri Hita Karana di-implementasikan dalam konsep Tri Kahyangan, yang mencakup tiga tempat suci, Pura Desa, Pura Puseh dan Pura Dalem. Ajaran Mpu Kuturan yang begitu agung ini, benar-benar menjadi pilar utama penyangga kehidupan manusia Bali. Kegiatan ngayah sebagai bagian dari pelaksanaan konsep Tri Kahyangan,dijalankan oleh desa pekraman menurut desa,kala,patra di masing-masing desa pekraman dan biasanya diatur dalam awig-awig desa pekraman setempat. Pengaturannya pun sedemikian rupa dilengkapi dengan sanksi bagi pelanggarnya. Pada era 80-an ke bawah, pertanian menjadi sumber penghasilan penduduk Bali yang utama. Persawahan yang menghampar hijau nan luas membentang dari barat ke timur dan dari selatan ke utara. Daerah Kuta dan Kerobokan sekarang, dulunya adalah areal persawahan hijau yang subur karena mendapat aliran air yang banyak dari daerah hulu.Pada saat itu, sistem pengairan tradisional Bali yang lebih dikenal dengan Subak menjalankan fungsinya dengan baik.


B. PERMASALAHAN
Demikian kalau kita bernostalgia mengenang zaman keemasan pertanian Bali.Bagaimana sekarang? Sungguh suatu kenyataan yang tragis, yang tidak mengada-ada, dewasa ini tata ruang Bali boleh dikatakan sangat amburadul, tanpa master plan yang jelas. Masing-masing ‘raja-raja kecil’ di kabupaten /kota, menjalankan roda pemerintahan terkesan tanpa koordinasi dari propinsi, terbukti kisruhnya rencana pembangunan lapangan golf di wilayah Besakih, berdekatan dengan kawasan suci Pura Besakih dan masih banyak contoh lainnya yang mencerminkan betapa pemerintah daerah Bali harus betul-betul melakukan mulat sarira, mau di bawa kemana pulau Bali ini? Bagaimana dengan kehidupan adat Bali ? adat istiadat Bali yang begitu kuat membelenggu memang perlu direvisi sesuai dengan perkembangan zaman. Kalau ditarik ke belakang, bagaimana Mpu Kuturan merumuskan konsep Tri Kahyangan dengan Desa Pekraman sebagai tiang penyangganya, adalah disesuaikan dengan kondisi masyarakat Bali pada saat itu yang hampir seluruhnya adalah petani tulen. Kalau dihadapkan dengan kondisi sekarang seperti gambaran diatas, apakah masih bisa awig-awig yang kaku dipertahankan? Berbagai kasus adat yang setiap tahun selalu saja terjadi membuat kita prihatin, beginikah orang Bali dalam me-desa adat? Tentu kasus yang terjadi tidak bisa kita generalisir, namun biasanya seperti kata pepatah”nila setitik rusak susu sebelangga” menjadi suatu hal yang perlu dipertimbangkan. Karena bagaimanapun segala sesuatu yang terjadi di suatu titik tempat di Bali, orang luar biasanya akan mengambil hipotesa bahwa itu terjadi di Bali,Bali dan Bali. Nama Bali yang sudah dikenal oleh seantero dunia menjadikan Bali sudah menjadi “milik” dunia. Untuk menjadikan Desa Pekraman sebagai benteng bagi Bali, sudah selayaknya paradigma masyarakatnya diubah secara perlahan dengan merevisi awig-awig yang tidak sesuai dengan dinamika zaman sekarang. Pemerintah dari semua tingkatan di Bali melalui instansi terkait hendaknya benar-benar terjun ditengah-tengah masyarakat, melakukan monitoring secara kontinyu. Desa Pekraman di Bali adalah warisan leluhur yang patut dijaga kelestariannya dengan tetap memperhatikan kearifan lokal tanpa mengabaikan perkembangan zaman. Kesamaan visi dan gerak langkah semua pihak sangat diperlukan untuk menjaga ke-ajegan adat Bali sebagai warisan budaya satu-satunya di dunia ini

C. Hukum Adat Bali Kini
Bali sebagai daerah yang hukum adatnya masih berpengaruh dengan kuat dan diterima oleh alam hukum daerah tersebut, yang kesemuanya berpangkal pada hidup budaya dan banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur religius. Oleh karena itu, hukum adat di Bali hidup secara berdampingan dan saling mengisi dengan agama (Hindu). Diterimanya unsur-unsur agama ke
dalam hukum delik adat, secara konkrit terlihat dart tata cara penjatuhan sanksi adat yang lebih banyak dikaitkan dengan ritual-ritual keagamaan. Dengan demikian, maka berfungsinya hukum delik adat tidak terlepas dari unsur-unsur religius, dalam arti, sesuai dengan pandangan hidup berdasarkan ajaran-ajaran agama Hindu, di samping juga faktor lain seperti kesadaran anggota masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang aman dan tertib. Dapat diidentifikasi beberapa delik hokum adat, yang apabila diklasifikasikan termasuk dalam delik terhadap: harta benda; kepentingan orang banyak; kepentingan pribadi seseorang; kesusilaan; dan pelanggaran lain yang sifatnya ringan. Dalam praktek peradilan di Bali, untuk kasus-kasus delik hukum adat, putusan hakim didasarkan Pasal 5 ayat (3) sub. b UU No. 1 Drt Tahun 1951 yang dihubungkan dengan kewajiban hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970. Ditemukan putusan yang bervariasi dalam penanganan kasus-kasus delik hukum adat, bahkan ditemukan pula putusan hakim yang menjatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan di luar ketentuan Pasal 10 KUHP. Eksistensi delik hukum adat dalam hukum pidana positif di Indonesia, paling tidak mematahkan kekakuan asas legalitas dalam dinamika hukum pidana positif, walaupun dalam implementasinya hukum pidana positif di Indonesia masih menampakkan kekakuannya. Dalam era implementasi hukum pidana mendatang, delik hukum adat masih diberikan peluang keberadaannya. Peluang keberadaan delik hukum adat tercermin dalam konsep KUHP yang dituangkan dalam Pasal 1 ayat (4) dan Pasal 64 ayat (4) sub. 5. Langkah tepat para perancang konsep KUHP untuk tetap mengakui keberadaan delik hukum adat dalam implementasi hukum pidana mendatang telah menunjukkan adanya pergeseran pandangan terhadap hukum yang yuridis dogmatis menuju pada pandangan yang sosiologis. Urgensi memasukkan delik hukum adat tentu berkait pula dengan usaha mengangkat nilai-nilai sosial dan budaya sebagai khasanah potensial dalam pembangunan hukum. Semua ini tentu dalam konteks, bahwa faktorfaktor yang ada di luar hukum, ikut pula menentukan efektif atau tidaknya hukum

D. Hukum Adat Atas Tanah
Karakteristik daerah Bali sangat tampak dari kehidupan Agama Hindu, adat, dan budaya yang menyatu padu dalam suasana harmonis dengan tidaklah terlepas dari peran serta seluruh komponen serta warisan suatu prinsip kesatuan masyarakat yang ada jauh sebelum Indonesia merdeka, yaitu Desa Adat.
Maksud dan tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana masyarakat Desa Adat
mengatur kepemilikan Tanah Adatnya baik dalam satu wilayah Desa Adat maupun antarwilayah
Desa Adat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi kepemilikan lahan dalam
suatu desa adat di Bali serta batas tanah adat yang dimiliki.

D.1. KEPEMILIKAN DAN BATAS TANAH ADAT
a. Hukum Adat
Di kalangan orang banyak, istilah hukum adat ini lebih sering disebutkan dengan
adat saja. Dari beberapa pengertian yang ada, bahwasanya hukum adat memiliki ciri-ciri
seperti :
mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakatnya
 merupakan aturan yang tidak tertulis
dilaksanakan dengan keyakinan dan kepercayaan yang kuat oleh seluruh
warganya.
diputuskan oleh para penguasa adat
memiliki sanksi yang kuat.
a. Hak Ulayat
Hak persekutuan atas tanah disebut hak ulayat. Di dalam ketentuan pasal 3 UUPA, hak ulayat diakui dan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 tahun 1999, dijelaskan pula bahwasan nya hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :
1. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari- hari,
2. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan
hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari, dan
3.terdapat tatanan hukum adat mengenai pengurusan, penguaasaan, dan penggunaan
tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.
a. Kepemilikan Lahan dan Penetapannya
Pemilikan tanah diawali dengan menduduki suatu wilayah yang oleh masyarakat
Adat disebut sebagai tanah komunal. Seiring dengan perubahan pola sosial ekonomi
dalam setiap masyarakat, sistem pemilikan individual mulai dikenal di dalam sistem pemilikan komunal (www.tanahkoe.tripod.com). Dalam hukum adat, hak perorangan atas tanah selalu dibatasi oleh hak ulayat. Dari hak yang dimiliki tiap individu di atas serta hak ulayatnya, mulai berkembang kepemilikan hak atas tanah (Artawilaga, 1960) yaitu :
1. Hak Persekutuan. Persekutuan memiliki hak untuk memanfaatkan tanahnya untuk kepentingan bersama warga persekutuannya. Hak persekutuan ini termasuk membuka hutan dan mengambil hasil hutan demi kepentingan bersama.
2. Hak Milik. Seorang warga persekutuan berhak untuk membuka tanah dan mengerjakan tanah itu terus-menerus dan menanam pohon di atas tanah itu, sehingga ia mempunyai hak milik atas tanah itu namun wajib menghormati hak ulayat desanya, kepentingan-kepentingan orang lain yang memiliki tanah, dan peraturan-peraturan adat. Selain hak milik dikenal pula hak milik terkekang atau terbatas yaitu bila kekuasaan atas tanah tersebut dibatasi oleh kuat atau tidaknya hak pertuanan desa.
3. Hak menggunakan tanah atau memungut hasil tanah, selama waktu tertentu, yang umumnya berlaku bagi orang luar bukan warga persekutuan yang sudah mendapat ijin telah memenuhi syarat tertentu seperti membayar mesi (Jawa) atau uang pemasukan (Aceh).
4. Hak Wenang Pilih. Hukum adat mengenal hak wenang pilih bagi perseorangan warga persekutuan yang membuka tanah atau menempatkan tanda-tanda pelarangan seperti pagar pada tanahnya.
5.Hak Wenang Beli. Sering dijumpai dalam tiga bentuk yaitu hak anggota keluarga
untuk membeli tanah dengan mengesampingkan pembeli-pembeli bukan anggota keluarga, hak warga persekutuan untuk membeli tanah dengan mengesampingkan orang bukan warga persekutuan, dan hak pemilik tanah yang berbatasan untuk membeli tanah tersebut dengan mengesampingkan pemilik tanah lain yang tidak berbatasan. Hak Pejabat Adat. Kepala persekutuan atau pembesar lainnya mempunyai hak atas tanah pertanian yang diberikan oleh persekutuan untuk menghidupi keluarganya (tanah bengkok). Mengenai jual beli (transaksi) tanah dalam hukum adat, Achmad Sanusi membedakannya dalam 3 kategori yaitu Jual-Lepas, Jual-Gadai, Jual- Tahunan, Persetujuan maro, dan Borg
a. Konsep Batas
Batas merupakan penanda dari suatu wilayah. Selain itu, batas dapat juga didefinisikan dalam segi hukum, yaitu suatu garis khayal yang memisahkan dua wilayah yang bersebelahan (Dale dan McLaughlin, 1999). Batas merupakan suatu penanda berakhirnya suatu wilayah serta sangat berhubungan dengan kekuasaan dan kewenangan suatu wilayah. Proses penetapan batas adalah suatu hal yang menjadi sangat penting. Berdasarkan cara penetapan batas yang digunakan, batas dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu, (Amhar, et.al, 2001)
➢Batas Ditetapkan secara Alami. Batas wilayah yang dianggap paling mudah
ditentukan secara alami adalah adanya air (garis tengah sungai dan batas territorial 12
mil laut) dan patahan bukit.
➢Batas Ditetapkan dengan Perjanjian. Selain Batas alam, batas buatan dibuat dengan
suatu perjanjian. Batas ini bisa berupa jalan raya, yang secara fisik dapat terlihat, ataupun batas maya misalnya dalam bentuk undang-undang, Perda, perjanjian historis atau juga sertifikat tanah serta batas dengan angka-angka koordinat.
➢Batas Ditetapkan secara Hierarki. Batas-batas wilayah dan batas kepemilikan lahan
seharusnya memiliki hubungan hierarki baik ke atas (batas wilayah harus memperhatikan batas-batas kepemilikan) maupun ke bawah (batas wilayah yang lebih tinggi otomatis menjadi batas wilayah di bawahnya)
Dari klasifikasi batas di atas, dapat dilihat bahwa umumnya suatu batas direpresentasikan oleh suatu objek fisik yang haruslah permanen, stabil, mudah diidentifikasi, dan mudah terlihat. Objek fisik tersebut dapat berbentuk apa saja asalkan memenuhi syarat tersebut, contohnya adalah tembok, pagar, atau deretan titik patok yang menandainya (Dale dan Mclaughlin, 1999).

D.2 MASYARAKAT ADAT DAN TANAH ADAT DI BALI
1. Desa Pakraman
Desa adat atau desa pakraman di Bali merupakan salah satu dari berbagai
kesatuan hukum masyarakat adat yang ada di Indonesia.
2. Sejarah dan Pengertian Desa Pakraman
Sejak jaman Bali Kuna yaitu sekitar abad 9, masyarakat Bali yang disebutkr am an telah mengenal desa dengan sebutandes a atau desa pakraman. Menurut Liefrinck, 1886, desa di Bali merupakan republik kecil yang memiliki hukum atau aturan budaya adatnya sendiri dengan susunan pemerintahannya bersifat demokratis dan memiliki otonomi. Sejarah desa pakraman dapat dilihat di dalam lontar Markandya Purana yang menceritakan perjalanan Maharsi Markandya dari Jawa Timur ke Pulau Bali. Dengan masuknya kekuasaan pemerintah Hindia. Belanda ke Bali Selatan (1906-1908) muncullah dua desa yaitu desa lama (Desa Pakraman) dan desa baru (Desa Dinas bentukan Belanda).
3. Nilai Filosofis dalam Desa Pakraman
Sejak awal dibentuknya, desa pakraman telah ditata untuk menjadi desa religius yaitu berlandaskan konsep-konsep dan nilai filosofis Agama Hindu. Suatu desa merupakan desa otonom (sima swantantra) bila telah memenuhi empat unsur sebagai syarat yang disebut Catur Bhuta Desa, yaituPar im andala atau lingkungan wilayah desa,
Karaman atau warga desa, Datu atau pengurus/pemimpin desa, Tuah atau perlindungan
dari tuhan/Sang Hyang Widhi. Pemimpin suatu desa pakraman disebutKelihan,
Kubayan, Bayan, Kiha, Kumpi, Sanat, Tuha-tuha, atau Bendesa yang bermakna orang
tua.
4. Peranan Desa Pakraman
Sebagai kesatuan hukum adat, desa pakraman diikat oleh adat istiadat atau hukum adat yang memiliki aturan-aturan tata krama tidak tertulis maupun tertulis yang dibuat bersama yang dinamakan Sima Awig-Awig,Dresta,Lokacar a, Catur Dresta, dan nama lainnya. Desa pakraman memiliki kedudukan ganda yaitu bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan dan mempunyai fungsi yaitu membantu pemerintah dalam
pelaksanaan pembangunan terutama dalam bidang keagamaan, kebudayaan dan kemasyarakatan, melaksanakan hukum adat dan istiadat dalam desa adatnya, memberikan kedudukan hukum menurut adat terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kepentingan hubungan sosial keadatan dan keagamaan, membina dan mengembangkan nilai-nilai adat Bali dalam rangka memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan Bali khususnya, menjaga, memelihara, dan memanfaat kan kekayaan desa pakraman untuk kesejahteraan masyarakat desa pakraman.
Dari segi kesatuan wilayah, terdapat beberapa pola hubungan desa pakraman dengan desa dinas. Pola tersebut yaitu, satu desa dinas mencakup beberapa desa pakraman, satu desa dinas terdiri dari satu desa pakraman, satu desa pakraman mencakup beberapa desa dinas, dan satu desa pakraman terbagi dalam beberapa desa dinas.
5. Struktur Kelembagaan dan Sarana Penunjang
Saat ini secara terpusat di Bali, terdapat tiga bagian desa pakraman secara berurut yaitu : 1 Desa Adat Agung (Tingkat Propinsi), 9 Desa Adat Madya (Tingkat Kabupaten), Desa Adat Pakraman (Tingkat Kecamatan / Kelurahan / Desa).
Untuk wilayah desa pakraman yang luas, desa pakraman dibagi menjadi beberapabanjar dengan Kelihan Banjar. Untuk banjar yang luas, banjar dibagi pula menjadi beberapa kelompok wilayah tempat tinggal dengan berpedoman pada mata angin yang dinamakantem pekan yang diketuai oleh seorang Kelihan Tempek. Kelihan Desa dibantu oleh beberapa orang pengurus yang disebut prajuru desa adat yang terdiri dari Penyarikan(sekretaris), Petengen(bendahara), Kesinoman Desa (Juru arah) dan plainnya yang diadakan sesuai kebutuhan desa, serta Kelihan Banjar Pemilihan Prajuru, Kelihan Banjar, dan Kelihan Tempek ini juga dilakukan melaluisangkepan desa. Desa pakraman dalam kelangsung-an kehidupannya, memerlukan sarana- sarana penunjang. Adapun yang merupakan unsur-unsur utama di desa pakraman ialahBala (unsur warga atau krama desa),Wahana (tempat untuk merencanakan, mengkoordinir dan menuntun segala kegiatan warga) danKosa (perlengkapan, dana dan fasilitas yang akan digunakan di semua kegiatan krama dalam mewujudkan cita-citanya).

D.4. Tanah Adat
1. Sejarah Tanah Adat di Bali
Sejarah tanah adat di Bali tidak terlepas dari sejarah desa pakraman yang diawali
dari perjalan Rsi Markandya membagikan tanah kepada para pengikutnya. Setelah masa
Yogi Markandya, munculah kerajaan Mayadanawa (959-974M) hingga kepemerintahan
Raja Udayana Warmadewa dan istrinya Gunapriya Dharmapatmi pada tahun 988-
1011M. Pada saat itu berlangsung suatu Pesamuan Agung dimana dicetusakanlah suatu
paham Tri Murti dan lahirlah lima keputusan pokok yaitu :
a. Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan
b. Pada setiap Desa Adat harus didirikan Kahyangan Tiga sebagai penerapan dari
paham Tri Murti.
c. Pada tiap-tiap pekarangan rumah harus didirikan bangunan suci yang disebut
Sanggah atau Merajan
d.Semua tanah-tanah pekarangan dan tanah-tanah yang terletak disekitar Desa Adat
yang berarti termasuk tanah-tanah Kahyangan Tiga adalah milik Desa Adat yang berarti pula milik Kahyangan Tiga dan tanah-tanah tersebut tidak boleh diperjualbelikan Nama Agama ketika itu adalah Agama Ciwa Budha. Kalau dilihat kelima putusan pokok di atas, pada putusan no. 4 terlihat bahwa tanah milik perorangan sama sekali tidak dibenarkan atau dapat kita temukan konsepsi hak ulayat dalam arti yang sebenarnya.
1. Jenis dan Fungsi Tanah Adat di Bali
Tanah-tanah adat atau tanah ulayat di Bali lebih dikenal dengan sebutan tanah
desa. Tanah desa dapat dibedakan menjadi :
a. Tanah Druwe atau sering disebut juga Druwe Desa adalah tanah yang dimiliki atau dikuasai oleh desa pakraman seperti Tanah Pasar, Tanah Lapang, Tanah Kuburan, Tanah Bukti,
b. Tanah Pelaba Pura adalah tanah yang dulunya milik desa yang khusus digunakan untuk keperluan Pura yaitu tempat bangunan Pura dan yang dipergunakan guna pembiayaan keperluan Pura seperti pembiayaan upacara-upacara rutin, hingga perbaikan pura,
c. Tanah Pekarangan Desa merupakan tanah yang dikuasai oleh desa pakraman yang
diberikan kepada krama negak untuk tempat tinggal dengan ayahan yang melekat,
d. Tanah Ayahan merupakan tanah yang dikuasai desa pakraman yang penggarapannya diserahkan kepada krama desa setempat dengan hak untuk dinikmati dengan perjanjian tertentu serta kewajiban memberikan ayahan.
Pemanfaatan tanah adat yang dimilik desa pakraman menimbulkan tiga bentuk fungsi dari tanah tersebut yaitu berfungsi ekonomi, berfungsi sosial, dan berfungsi keagamaan. Sebagai fungsi keagamaan, krama desa memiliki kewajiban ngayahang yang berupa tenaga, yaitu menyediakan dirinya untuk ngayah atau berkorban ke desa pakraman dan ngayah ke Pura / Kahyanagan Desa seperti gotong royong membersihkan pura, memperbaiki pura hingga menyelenggarakan upacara keagamaan di dalamnya dan material, yaitu menyediakan uang atau materi lainnya demi kepentingan desa pakraman dan Kahyangan Desa.

1. Kepemilikan dan Batas Tanah Adat di Buleleng
Gambar 3. Wilayah Kabupaten di Bali
Kabupaten Buleleng memiliki luas wilayah terbesar di Pulau Bali yaitu 1365,88 km2 (24,25% dari luas daerah Bali) dan memiliki 9 kecamatan yang meliputi 146 kelurahan/Desa Dinas. Di Kabupaten Buleleng, terdapat 165 desa pakraman Selain dipimpin oleh masing-masing Kelihan desanya, ke165 Kelihan Adat ini dipimpin oleh seorang Kelihan Adat Madya Buleleng. Dari 5 Desa Pakraman yang menjadi daerah studi didapat beberapa hal yang dijelaskan dalam tabel dibawah ini.

JENIS TANAH ADAT
Desa Pakraman Banyuasri
Tanah druwe desa
Tanah pelabe Pura
Tanah pekarangan desa
Tanah ayahan
Desa Pakraman Petandakan
Tanah druwe desa
Tanah pelabe Pura
Tanah pekarangan desa
Desa Pakraman Kalibukbuk
Tanah druwe
Tanah pelabe Pura
Tanah pekarangan desa
Desa Pakraman Lemukih
Tanah pelabe Pura
Tanah pekarangan desa
Desa Pakraman Pemuteran
Tanah pelabe Pura
Dalam masyarakat Bali pada dasarnya yang berhak mewarisi harta warisan ialah anak laki-laki, terutama anak laki-laki yang sudah dewasa dan berkeluarga, sedangkan anak-anak perempuan tidak sebagai ahli waris, tetapi dapat sebagai penerima bagian warisan untuk dibawa sebagai harta bawaan ke dalam perkawinannya dengan pihak suami. Akan tetapi pada prakteknya, anak perempuan dapat dijadikan sebagai ahli waris dengan diubah statusnya menjadi anak laki-laki.
Unsur-unsur Hukum Adat yang berintikan kepribadian bangsa Indonesia perlu di masukkan ke dalam lembaga-lembaga dan peraturan-peraturan hukum negara agar hukum yang baru itu sesuai dengan rasa keadilan dan kesadaran hukum masyarakat dalam kerangka bangsa Indonesia. Berbeda dengan hal tersebut, BW yang dijadikan sebagai dasar hukum perdata di Indonesia tidak mengatur tentang hukum pewarisan berdasarkan gender, dalam artian tidak ada strata gender dalam aturan hukum di dalamnya pewarisan.
2. Contoh kasus Hukum Adat Waris Bali
a. Kasus Posisi:
1. Sebidang tanah seluas 0,300 Ha di desa Tamung Kab. Klungkung Bali adalah milik I.G. Made Tugeg. Tanah tersebut dipinjamkan kepada masyarakat sekitarnya. Oleh masyarakat desa itu, tanah tersebut dimanfaatkan untuk pendirian Pura Dalem Rajapati.
2. Tahun 1950, Tugeg meninggal dunia, Tanah seluas 0,300 Ha tersebut beralih tangan kepada 3 orang anak laki-lakinya yang masih hidup. Beberapa waktu kemudian, Ni Gusti Rai Muklek, istri Tugeg meninggal pula. Beralihnya pemilikan tanah kepada anak-anak Tugeg: Arya, Wisma dan Darsana, adalah sesuai dengan Hukum Adat Waris di Bali.
3. Meski tanah tersebut beralih tangan, 3 orang anak Tugeg tersebut (Sekehe 3) tidak menempati tanah waris itu. Buku C dari Desa Takmung, tetap mencatat Sekehe 3 adalah pemilik sah tanah persil No. 22 pipil No. 179 warisan Tugeg tersebut Ipedapun dibayar oleh Sekehe tiga.
4. Oleh karena tidak ditempati pemiliknya, orang lain dapat dengan mudah menguasai tanah tersebut adalah Mantera, seorang pensiunan polisi menguasaitanah milik sekehe 3. Mantera memanfaatkan lahan itu untuk ditanami pohon kelapa, pisang dan tanaman lainnya.
Menurut Mantera, tanah itu adalah tanah laba pura, ia berhak
memanfaatkannya sehingga teguran dari sekehe 3, tidak dihiraukannya.
5. Ketidakpedulian Mantera tersebut memaksa Sekehe 3 mengajukan tuntutan pada
Mantera melalui Pengadilan Negeri Klungkung.
Dalam gugatannya Aryawisma dan Darsana mohon agar Pengadilan Negeri:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya.
2. Menyatakan Penggugat-Pengugat adalah anak kandung sah Almarhum Tugeg.
3. Menyatakan Penggugat adalah ahli waris sah hak milik Tanah Almarhum Tugeg.
4. Menyatakan tanah sengketa adalah hak milik Almarhum Tugeg.
5. Menyatakan Penggugat-Penggugat adalah satu-satunya ahli waris sah yang berhak
mewarisi harta sengketa secara bersama (Sekehe 3).
6. Menyatakan Tergugat menguasai tanah sengketa dengan menanam pohon di
atasnya adalah melawan hak tanpa dasar hukum.
7. Memerintahkan Tergugat atau yang mendapat hak untuk mencabut pohon
kelapa/pisang/tanaman lainnya, lalu menyerahkan pada Penggugat-Penggugat.
8. Menyatukan CB yang telah dilaksanakan adalah sah dan berharga
9. Menghukum Tergugat membayar biaya perkara.
10. Atau mohon putusan seadil-adilnya.
a. PENGADILAN NEGERI:
1. Hakim Pertama yang menangani perkara ini memberitahukan pertimbangan sebagai
berikut:
2. Menurut bukti P2 yang merupakan “Buku C lama”, Desa Takmung, tanah sengketa adalah milik Almarhum Tugeg sejak tahun 1950 hingga sekarang. Tanah tersebut dinyatakan menjadi milik Arya, Wisma dan Darsana (Sekehe 3). Dan sejak dinyatakan menjadi milik Sekehe tiga, tidak pernah dilakukan mutasi lagi. Hal tersebut juga sesuai dengan kesaksian dari Kepala Desa Takmung dan “Buku C Baru” Desa Takmung. Dalam Buku C baru itu juga tidak tercantum keterangan bahwa tanah sengketa adalah tanah laba puraMeskipun Tergugat menyangkal bahwa tanah tersebut adalah milik Tugeg yang kemudian diwariskan pada Sekehe Tiga, tetapi Tergugat tidak dapat membuktikan bahwa tanah sengketa adalah Tanah Laba Pura.
3. Pura yang ada di tanah sengketa tidak dapat dijadikan bukti bahwa tanah tersebut
adalah tanah laba pura.
4. Keterangan para saksi menyatakan bahwa “Sekehe Tiga” adalah anak-anak kandung Almarhum Tugeg. Sekehe Tiga tidak mempermasalahkan keberadaan Pura Dalem Rajapati.
5. Dari pertimbangan-pertimbangan di muka, maka Pengadilan berpendapat bahwa Penggugat-Penggugat telah dapat membuktikan gugatannya dan Hakim Pertama memberikan putusan sebagai berikut:
c. MENGADILI:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat-Penggugat sebagian.
2. Menyatakan Penggugat-Penggugat adalah anak kandung sah Almarhum Tugeg.
3. Menyatakan Penggugat-Penggugat adalah ahli waris sah hak milik Almarhum Tugeg.
4. Menyatakan tanah sengketa adalah hak milik Almarhum Tugeg.
5. Menyatakan Penggugat-Penggugat adalah satu-satunya ahli waris sah yang berhak
mewarisi harta sengketa secara bersama (Sekehe Tiga).
6. Menyatakan Tergugat menguasai tanah sengketa dengan menanam pohon diatasnya
adalah melawan hak tanpa dasar hukum.
7. Memerintahkan Tergugat atau yang mendapatkan hak untuk mencabut pohon kelapa/pisang/tanaman lainnya atau mengosongkan tanah tersebut lalu menyerahkannya pada Penggugat-Penggugat.
8. Menolak gugatan Penggugat selebihnya.

d.PENGADILAN TINGGI:
1. Mantera, Tergugat dalam perkara ini menyatakan banding atas putusan hak milik. Setelah memeriksa perkara dan berkas perkara ini, Hakim Banding menemukan fakta bahwa ternyata Pengadilan Negeri telah memeriksa tiga orang saksi tanpa disumpah.
Pertimbangan yang mendasarinya adalah karena ketiganya masih mempunyai hubungan keluarga
dengan pihak Penggugat. Kades Takmung, Diarsa adalah paman Penggugat dan Tergugat.
Saksi Tergugat, Seregeg dan Serejig, tidak jelas mana saudara kandung dan yang sepupu
dari Tergugat. Antara Berita Acara sidang disatu pihak dan jawaban Tergugat tanggal 6 Mei
1990 serta Daftar Silsilah dilain pihak terdapat perbedaan/pertimbangan.
Saudara sepupu tidak berhak mengundurkan diri, sebagai saksi, sehingga saudara sepupu haruslah disumpah.
- Saudara Kandung (pasal 174 ayat 1 ke-1 RBg) dan kemenakan/paman (putusan MA No. 300
K/Sip/1973, tanggal 11-11-1975) adalah orang-orang yang berhak mengundurkan diri
sebagai saksi, mereka harus diberitahukan tentang hak untuk pengunduran diri yang tidak
digunakan, harus disumpah (pasal 175 RBg). Sedangkan jika akan menggunakan hak
tersebut, tidak perlu diperiksa tanpa disumpah. Saksi yang tidak disumpah bukan alat bukti.
Yang boleh diperiksa tanpa disumpah, hanya anak di bawah usia 15 tahun dan orang gila
yang kadang-kadang ingat (pasal 173 RBg).
- Sehubungan dengan itu, Pengadilan Tinggi memandang perlu memerintahkan Pengadilan
Negeri membuka kembali pemeriksaan Sidang dalam perkara ini.
- Atas dasar pertimbangan tersebut, maka Hakim Banding memberi Putusan Sela yang
amarnya sebagai berikut
- Memerintahkan Pengadilan Negeri Klungkung untuk membuka kembali pemeriksaan dalam
perkara ini untuk:
I. 1. Memerintahkan saksi misan/sepupu Tergugat untuk bersumpah.
2. Memberitahukan kepada saksi saudara kandung. Saksi paman akan haknya untuk
mengundurkan diri sebagai saksi untuk selanjutnya memerintahkan saksi jika
bersedia menjadi saksi untuk bersumpah.
3. Menanyakan saksi yang sudah disumpah: Apakah mereka tetap pada keterangan yang
telah diberikan pada sidang yang lalu.
II. Memberi kesempatan pada kedua pihak, jika masing-masing akan mengajukan tambahan
alat bukti.
- Dalam Putusan Akhir, maka Hakim Banding berdasar atas pemeriksaan Tambahan tersebut di atas, memberikan putusan akhir yang amarnya: Membatalkan putusan Hakim Pertama dan mengadili sendiri: Menolak gugatan Penggugat.

MAHKAMAH AGUNG RI:
- Para Tergugat, Sekehe Tiga, menolak putusan Pengadilan Tinggi dan mengajukan
permohonan kasasi pada Mahkamah Agung dengan alasan sebagai berikut:
1. Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum, Pengadilan Tinggi menyatakan tanah sengketa bukan milik orang tua Penggugat-Penggugat, tapi milik Banjar. Hal tersebut tidak benar. Sesuai bukti P2, tanah sengketa adalah milik orang tua Penggugat- Penggugat.
2. Pengadilan Tinggi salah menrapkan hukum dalam pertimbangannya Perubahan penilikan tanah sengketa dari atas nama Tugeg menjadi atas nama Sekehe Tiga, bukan atas usul ahli waris Tugeg, hal itu tidak benar. Atas usul ahli waris Tugeg, yaitu Penggugat, menjadi atas nama Sekehe Tiga Pemindahan hak milik hanya dapat dilakukan oleh pemiliknya sendiri atau oleh ahli warisnya, karenanya, tahun 1950. Penggugat- Penggugat melakukan pemindahan hak tersebut sesuai Undang-Undang.
3. Pengadilan Tinggi salah menerapkan hukum dalam pertimbangannya. Pencantuman
nama Tugeg akabn buku C tidak benar. Pengadilan Tinggi kurang teliti menelaah bukti
P2 yang oleh Pengadilan Tinggi hanya dinilai sebagai surat pembayaran pajak. Hal tersebut disengaja untuk melemahkan Penggugat-Penggugat.
4. Setelah memeriksa perkara ini, Mahkamah Agung berpendapat bahwa keberatan 1 dan 2 yang diajukan Penggugat-Penggugat dapat dibenarkan. Tergugat dalam memutus perkara ini, salah menerapkan hukum yaitu:
5. Pengadilan Tinggi menyatakan surat bukti P2 dapat disimpulkan bahwa Tanah atas nama Tugeg dalam Buku C, bukan karena pembelian atau warisan atau transaksi lainnya, tetapi karena “salah buku”. Dengan demikian, perubahan tahun 1950 atas nama Sekehe Tiga, bukan karena permohonan ahli waris Tugeg, tetapi karena “salah buku”.
6. Atas dasar pertimbangan tersebut, Penggugat tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya dan keliru jika pengertian “salah buku” diartikan salah memasukkan buku ke Sekehe Tiga, berarti tanah sengketa adalah milik Tugeg. Karena terbukti sejak 1935 sampai dengan 1950, tanah tetap atas nama Tugeg.
7. Penggugat tidak perlu membuktikan atas hak atau Tugeg memperoleh tanah sengketa, karena dari pemeriksaan, tidak terdapat bukti sebaliknya, yakni sebelum tahun 1935, tanah sengketa terdaftar atas nama orang lain selain Tugeg.
8. Tugeg adalah orang tua Penggugat dan tanah sengketa terbukti milik Tergugat, maka penggugat sebagai ahli warisnya adalah sama dengan yang paling berhak atas tanah sengketa.
9.Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut dimuka. Mahkamah Agung telah cukup alasan untuk menerima permohonan kasasi dari I Gusti Nyoman Arya, I. I Gusti Made Wisma, dan I. Gusti Putu Darsana. Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi dan mengadili sendiri perkara ini dengan menguatkan putusan Pengadilan Negeri Klungkung tanggal 20 Juni 1990, No. 3/Pdt/G/1990/PN.Klk.
CATATAN:
•Dari putusan Mahkamah Agung RI tersebut di atas, dapat diangkat “Abstrak Hukum”
sebagai berikut:
•Suatu keluarga masyarakat Bali, Gusti Made Tugeg dalam perkawinannya dengan Wanita Ni Gusti Rai Muklek, dilahirkan tiga orang anak lelaki: I. Gusti Nyoman Arya, I. Gusti Made Wisma, I. Gusti Putu Darsana.
Ayah ketiga anak ini (Gusti Made Tugeg) semasa hidupnya memiliki tanah hak milik
Dengan wafatnya ayahnya, yang kemudian disusul dengan ibunya, maka hak milik tanah itu turun dan diwarisi oleh ahli warisnya ketiga orang anak lelakinya tersebut diatas (Sekehe Tiga).
Majelis terdiri dari para Hakim Agun: Ny. SITI ROSMA ACHMAD, SH sebagai Ketua
Sidang didampingi anggotaL TH. KETUT SURAPUTRA, SH dan H.I. RUKMINI, SH.
E. Perceraian menurut Hukum Adat Bali
SETELAH berlakunya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, baik perkawainan dan perceraian di Indonesia harus dilakukan sesuai dengan ketentuan undang-undang tersebut. Tetapi, karena masalah perkawinan tidak dapat dilepaskan dari ketentuan adat kebiasaan masyarakat setempat dan agama yang dianut pasangan suami – istri yang akan kawin atau cerai, pelaksanaan perkawinan dan perceraian pun patut dilaksanakan sesuai dengan agama dan adat kebiasaan setempat.
Perceraian yang dilakuakan berdasarkan UU No.1/1974 tentang Perkawinan, sudah banyak dibahas. Tidak demikian halnya perceraian menurut hukum adat Bali. Dalam beberapa hal, perceraian menurut hukum adat Bali memang mengandung beberapa kelemahan. Mungkin karena itu sehingga makin banyak orang Bali-Hindu yang memilih untuk mengurus perceraiannya melalui pengadilan negeri sesuai dengan ketentuan UU No.1/1974. Namun, tidak ada salahnya kita mengetahui proses perceraian menurut hukum adat Bali.
Jika pasangan suami istri tidak cocok satu sama lainnya, proses perceraian biasanya dimulai dengan menyampaikan masalah ketidakcocokan itu kepada keluarga masing-masing dan sekalian menyampaikan niat untuk bercerai. Sesudah menyampaikan niat itu, istri biasanya tidak mau kembali ke rumah suaminya. Dia akan menetap di rumah orangtuanya atau keluarga dekat lainnya. Ini dikenal dengan istilah nyala (dalam ungkapan sekarang lebih dikenal dengan “pisah ranjang”).
Langkah pertama yang diambil masing-masing keluarga setelah menerima pengaduan dari salah satu pasangan yang ingin bercerai adalah berusaha untuk mendamaikan dan membujuk suami istri yang bersangkutan untuk rukun kembali. Kalau mereka ngotot tidak mau rukun, tidak ada pilihan lain bagi keluarganya kecuali membawa masalah ini ke prajuru (perangkat pimpinan) desa.
Berdasarkan pengaduan itu, prajuru desa akan memanggil pasangan suami istri yang ingin bercerai untuk datang ke balai desa pada waktu yang telah ditentukan. Di balai desa dan di hadapan prajuru desa, masing-masing pihak dimintai keterangan soal masalah yang mereka hadapi, termasuk niatnya untuk bercerai. Sesudah itu, prajuru desa akan mengarahkan kedua belah pihak untuk menghindari perceraian dan kembali hidup rukun sebagai suami istri. Kalau kedua belah pihak mengatakan tidak mungkin rujuk kembali, sidang akan ditunda beberapa hari atau beberapa minggu. Maksudnya, untuk memberikan kesempatan kepada pasangan suami istri tersebut untuk berpikir secara lebih jernih. Kalau mereka bertahan pada niatnya untuk bercerai, sidang akan dilanjutkan dengan mendengarkan keterangan dari keluarga masing-masing. Jika dalam pertemuan berikutnya bendesa (pucuk pimpinan prajuru) sampai pada kesimpulan mereka benar-benar bulat hati akan bercerai, perceraian akan disetujui, pasangan suami istri ini dianggap bercerai.
Saat itu, bendesa juga menjelaskan berbagai konsekuensi yang menyertai perceraian tersebut, seperti masalah warisan, harta bersama (guna – kaya), dan anak. Biasanya masalah itu diselesaikan secara pada lasia (diselesaikan secara damai berdasarkan hukum adat). Setelah ini perdamaian disepakati, langkah berikutnya berupa pengumuman perceraian (pasobiahan) oleh prajuru dalam rapat desa yang diadakan pada bulan berikutnya. Perceraian dianggap resmi sesudah adanya pengumuman (pasobiahan) perceraian pasangan bersangkutan, di hadapan rapat (paruman) desa. Sesudah itu, masing-masing mau kawin lagi atau selamanya berstatus sebagai janda (balu luh) atau duda (balu muani), tidak ada masalah.
Dengan uraian singkat tersebut dapat diketahui bahwa perceraian menurut hukum adat Bali sangat sederhana prosesnya. Selain itu, biaya yang diperlukan juga relatif murah dan bahkan tanpa biaya samasekali.
Setelah berlakunya UU No.1/1974 tentang Perkawinan, perceraian yang dilaksanakan menurut hukum adat Bali, kurang diminati pasangan suami istri yang ingin bercerai. Hal ini disebabkan, perceraian menurut hukum adat Bali mengandung beberapa kelemahan. Kelemahan itu antara lain, sulit membuktikan bahwa pasangan suami istri telah bercerai, karena perceraian yang dilaksanakan tidak disertai penerbitan akte perceraian. Ini bisa menimbulkan kesulitan susulan, khususnya terkait penyelesaian administrasi kepegawaian bagi mereka yang berstatus sebagai pegawai negeri atau swasta. Begitu pula jika salah satu pihak ingin melangsungkan perkawinan untuk ke dua kalinya, dan kebetulan calon pasangannya berasal dari luar daerah. Kesulitan lainnya dalam hubungan dengan menyelesaikan masalah harta bersama (gunakaya) yang telanjur dikuasai salah satu pihak, baik pihak laki-laki maupun pihak perempuan.
Oleh karena perceraian menurut hukum adat Bali mengandung beberapa kelemahan, makin banyak pasangan suami istri yang ingin bercerai memilih mengurus perceraian lewat lembaga peradilan negeri sesuai dengan ketentuan UU No.1/1974. Masalahnya, untuk mengurus perceraian melalui pengadilan negeri tidak mudah karena persyaratannya lebih banyak dan lebih ketat dibandingkan perceraian menurut hukum Bali. Lagi pula tidak murah biayanya. Biaya yang diperlukan bahkan bisa hampir sama dengan biaya perkawinan yang dilaksanakan secara tradisional di desa. Gugatannya harus memenuhi persyaratan formal dan materiil sesuai dengan hukum acara yang berlaku. Kalau tidak demikian, gugatannya akan ditolak.Keuntungan yang utama adalah sangat gampang membuktikan bahwa telah ada perceraian; tinggal menunjukkan akte perceraian atau fotokopinya. Sesudah itu, mau kawin dengan siapa pun tak menjadi soal. Selain itu, mau kawin dengan siapa pun tak menjadi soal. Selain itu, terbuka peluang untuk membahas masalah pengasuhan anak, pembagian harta bersama, secara lebih mendekati keadilan.

F. GENDER DALAM ADAT BALI
Adat bali yang dimaksud adalah meliputi, nilai, norma dan prilaku dalam masyarakat Bali pada umumnya yang sangat dikenal dengan sistem kekeluargaan patrilinial. Sistem
kekeluargaan patrilineal sering diduga keras memberi peluang suburnya budaya patriarkhi ( kekuasaan/ dominasi laki-laki). Dalam kajian terhadap masalah ini membagi atas 3 bagian
yaitu:
1.Semangat moral yang dijadikan dasar hukum adat bali; yang menggambarkan konsep
ideal / das sollen dari hukum adat bali.
2. Letak bias jender dalam hukum adat bali;
3. Upaya mengatasi ketidakadilan gender dalam masyarakat bali.
F.1. Semangat moral gender dalam Hukum Adat Bali
Hukum adat bali, pada umumnya dilandasi oleh spirit moral agama Hindu. Dilihat dari sudut moral agama Hindu, perempuan memiliki peran sentral dalam masyarakat. Laki-laki dan perempuan adalah setara, dan harus bersatu dan bekerjasama dengan erat sebagai dwi tunggal. Seperti halnya para dewa memiliki pasangannya, Dewa Brahma dengan Dewi Saraswati, Dewa Wisnu dengan Dewi Sri, Dewa Siwa dengan Dewi Durga, ini adalah keadaan ideal.
Tentang kedudukan perempuan, seperti digambarkan dalam Kitab Suci Manawa Dharmacastra Bab.III. sloka 58 dan 59. 58: “ Bagi setiap keluarga yang tidak menghormati kaum perempuan, niscaya keluarga itu akan hancur lebur berantakan. Rumah di mana perempuannya tidak dihormati sewajarnya, mengungkapkan kutukan, keluarga itu akan hancur seluruhnya, seolah-olah dihancurkan oleh kekuatan gaib” 59. “ Oleh karena itu orang yang ingin sejahtera, harus selalu menghormati perempuan kitab suci mewajibkan semua orang menghormati perempuan”. Manu Smerti menggambarkan status perempuan dan laki-laki adalah sama (Manawa Darmacastra IX, 96): ” Untuk menjadi ibu perempuan diciptakan, dan untuk menjadi ayah laki-laki diciptakan, karena itu upacara keagamaan ditetapkan dalam Weda untuk dilakukan oleh suami dan istrinya. 96.”Tidak ada perbedaan putra laki-laki dengan putra perempuan yang diangkat statusnya, baik yang berhubungan dengan masalah duniawi ataupun masalah kewajiban suci. Karena bagi ayah dan ibu mereka keduanya lahir dari badan yang sama” Manu Smerti mengumpamakan perempuan diumpamakan seperti bumi/ pertiwi/ tanah da laki- laki adalah benih atau bibit, antara bumi dan bibit mempunyai kedudukan dan peran yang sama dalam menciptakan kehidupan Gambaran tentang peran perempuan sebagai tolak ukur kebahagiaan dalam keluarga, masyarakat dan bangsa dapat dilihat dalam Kitab Bhagawadgita Bab I sloka 41,42 yang pada intinya menyatakan sebagai berikut:
” Bila tirai kebatilan merajalela oh Kresna , wanita menjadi jalang, maka moral serta warna ( dalam masyarakat) akan campur aduk”
“Keruntuhan moral perempuan akan membawa keruntuhan keluarga serta arwah nenek moyang akan jatuh keneraka, dan segala sesajen air, makanan yang dipersembahkan tidak berguna baginya
Tanggungjawab perempuan menjadi sangat tinggi dalam memegang teguh moral dan ahklak masyarakat. Perempuan memegang peranan sentral dalam kehidupan dan kebahagiaan keluarga, masyarakat dan negara. Sementara untuk semangat kerja keras dalam Bhagawandgita Sloka III.5. menyebutkan:
“ Tidak seorangpun tidak bekerja walaupun untuk sesaat saja karena dengan
tiada berdayanya manusia dibuat bertindak oleh hukum alam”
“ Bekerjalah seperti yang telah ditentukan sebab bekerja jauh lebih baik dari
tidak bekerja. Kalau kau tidak bekerja hidup sehari-haripun tidak mungkin.
(sloka .8).
Dalam Kitab Sarasamuscaya ethos kerja terlihat pada penekanan adanya
karmaphala yaitu hasil dari perbuatan-perbuatan baik pada masa lampau sekarang
maupun yang akan datang. Setiap karma (perbuatan) pasti membuahkan hasil, baik buruk
hasilnya pasti tergantung padakar m anya”
Semangat moral yang dipetik di atas pada prinsipnya menempatkan lelaki dan perempuan dalam mitra yang sejajar. Spirit ini kemudian dituangkan dalam bentuk hukum adat, khususnya dalam hukum kekeluargaan desa adat di Bali. Dalam hukum keluarga maka dianut sistem kekeluargaan garis keturunan “purusa “ yang sesungguhnya tidak identik dengan laki-laki, karena ahli waris juga bisa perempuan, khususnya bila dalam keluarga tidak memiliki anak laki-laki. Nah, bila ada anak laki-laki dan perempuan, maka otomatis anak laki laki lah sebagai ahli waris. Di sinilah letak pembedaan anak laki dan perempuan yang ada dalam keluarga. Pada umumnya menurut menurut hukum waris Bali ada 3 macam ahli waris:
➢Pratisentana purusa (anak laki-laki);
➢ Sentana Rajeg ( anak perempuan yang berstatus sebagai anak lelaki);
➢Sentana peperasan (anak angkat).
Dalam hukum waris inilah yang sering digugat sebagai aturan yang  biasa
Gender. Mengikuti pendapat Talcott Parson analisa struktur hukum dalam suatu
kelompok masyarakat terdiri dari:
➢Ide-ide ( norma keagamaan dan nilai-nilai sosial)
➢Norma ( Hukum adat Bali)
➢Kollektivitas ( (desa adat dan lembaga-lembaga adat lainnya)
➢Peran ( sikap, prilaku anggota masyarakat)
Bagian atas menggambarkan bagaimana hubungan gender dirumuskan dalam kitab suci Hindu yang menjadi dasar moral dan spirit hukum Adat Bali. Bagaimana kemudian dituangkan dalam bentuk norma dalam hukum adat, dan menghasilkan sistim kewarisan menurut garis “purusa”yang sepenuhnya tidak identik dengan dengan garis lurus laki-laki, karena perempuanpun bisa menjadi “Sentana Rajeg” sebagai penerus kedudukan sebagai kepala keluarga dan penerus keturunan keluarga. Tapi bila keluarga itu memiliki anak perempuan dan laki-laki hanya anak laki-laki saja yang menjadi ahli waris. Inilah yang dimaksud Ariani adanya bias gender dalam hukum adat bali.
Sangat jelas sekali anak perempuan apalagi sudah kawin keluar, maka ia tidak berhak mewaris dan sepenuhnya menjadi tanggungjawab keluarga pihak suami selama perkawinannya langgengBila terjadi perceraian, anak perempuan tersebut kembali kekeluarga asalnya, dan beralih menjadi tanggungjawab orangtua atau saudara laki- lakinya. Hak asuh anak-anak jatuh pada suami / keluarga suami, dan bagi si ibu tidak ada tanggungjawab ekonomis ataupun spiritual terhadap anak-anaknya.
Faktanya di sinilah getirnya nasib perempuan bali yang bercerai. Menurut hukum Adat Bali mengenai harta perkawinan, harta bersama ( guna kaya = harta yang diperoleh selama masa perkawinan adalah dibagi dua (50% hak perempuan) dan bila ada harta
tatadan ( bekal atau hibah dari orangtua perempuan), harta tatadan sepenuhnya kembali
menjadi hak perempuan. Prakteknya, dalam kasus perceraian banyak diselesaikan hanya secara adat, dan perempuan bali sering tidak menggugat harta bersama apalagi bila ada anak-anak, biasanya diberikan kepada anak-anaknya. Syukur bila keluarga asalnya menerima dengan baik. Dari pengamatan perempuan yang bercerai dan pulang ke rumah selalu berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri, dan juga sering membantu biaya sekolah anak-anaknya bila memungkinkan.
Menurut hukum adat, orang tua atau saudara laki-laki di rumah asalnya wajib bertanggungjawab bila ia sakit ataupun meninggal, bila mereka tidak mau akan dikecam oleh masyarakt adatnya. Oleh karena itu setiap perceraian yang terjadi harus dilaporkan
kepada “kelian” atau kepala banjar adat baik di lingkungan rumah suami maupun ditempat asal istri. Tidak boleh mengambang tak karuan, karena ini menentukan kewajiban banjar adat bila anggota masyarakatnya meninggal atau memiliki masalah hukum lainnya.
Hukum Adat Bali tumbuh dan hidup dalam tatanan masyarakat agraris, demikian juga lembaga-lembaga adat seperti desa adat sangat tergantung pada tanah (wilayah kerjanya) dan peran-peran individu sesuai dengan kondisi pada saat itu. Dari sisi kekuasaan dalam masyarakat yang mendominasi adalah para tuan tanah (feodalismeperempuan sangat tinggi, seperti : praktek kawin paksa, poligami, pemingitan gadis dalam usia belia dengan alasan menjaga kesuciannya, kawin dalam usia muda, dan adanya strata sosial kasta yang melarang perempuan kawin dengan orang lain, hanya dalam lapisan kastanya saja, bila keluar maka ia dibuang dari keluarga, banyak terjadinya kekerasan fisik dan mental terhadap perempuan.
Sejalan dengan perkembangan ekonomi, terutama adanya pergeseran kehidupan ekonomi pada sektor jasa, masuknya Keluarga Berencana memungkinkan bagi perempuan memperoleh penghasilan sendiri. Bersyukur berlakunya UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang prinsipnya melarang poligami, kawin paksa, dan kedudukan istri adalah sebagai mitra sejajar dan yang mewajibkan setiap perceraian baru sah bila ada Putusan Hakim. Adanya perubahan hukum perkawinan menyebabkan adanya perubahan prilaku dalam masyarakat. Jadi yang berubah adalah peran/ prilaku, sementara hukum kekeluargaan patrilinial tetap berlaku.
Dewasa ini hakim pengadilan di Bali dalam kasus perceraian selalu memutus berdasarkan UU No, 1 tahun 1974 dan sering memutuskan harta bersama dan hak asuh anak ada pada ibu (perempuan). Sayang sekali perempuan terutama yang ada di pedesaan (bukan pegawai negeri ataupun lainnya yang wajib menunjukkan surat perceraian dari kantornya atau yang merasa perlu) tidak mengurus perceraiannya ke pengadilan
Daftar Pustaka
__________.TT. Perda Propinsi Dati I Bali No. 2 Tahun 1988 Tentang Lembaga Perkreditan
Desa.
____________.1995. “Manfaat Pengembangan Studi Kebijakan Publik untuk Pembangunan
Daerah”, dalam Kumpulan Makalah Pelatihan Analisis Kebijakan Sosial Angkatan III.
Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependudukan UGM.
____________.2004. Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004Tentang
Pemerintahan Daerah. Yogyakarta : Media Grafika Utama.
Abdul Wahab, Solichin. 1994. “Esensi Nilai Dalam Kebijakan: Perbincangan Teoritikal”, dalam Kebijakan Publik dan Pembangunan. Malang : Penerbit IKIP Malang bekerja sama dengan FIA Unibraw

sumber : http://www.hukumhindu.com/hukum-hindu-2/hukum-adat-bali/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar